BAB I
PENDAHULUAN
I.
LATAR
BELAKANG
Salah satu inti ajaran yang tidak bisa terpisahkan dari agama Islam adalah thaharah. Islam menghendaki umatnya menjadi umat yang bersih dan suci, baik lahir maupun batin. Segala bentuk kotoran yang dapat merusak kesucian lahir dan batin manusia pasti dilarang oleh Islam. Islam bahkan menjadikan kesucian setengah dari iman. Tentunya yang dimaksud kesucian di sini adalah kesucian lahir dan batin atau kesucian jasmani dan rohani.
Masalah najis erat kaitannya dengan masalah ibadah, karena setiap ibadah yang dilakukan oleh seorang muslim haruslah bersih dari segala najis. Dan kebersihan seorang muslim menjadi ketentuan penting dalam hal kesempurnaan pelaksanaan ibadah, baik yang fardhu’ maupun sunnah. Akan tetapi, tidak sedikit dari kaum muslim yang belum bisa membedakan antara kotoran yang terhukumi sebagai najis dengan kotoran yang tidak terhukumi sebagai najis. Dan najis yang berupa kotoran dalam bentuk zhahir (nyata) dengan najis yang tidak berbentuk zhahir (nyata) seperti kotoran.
Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi menyebutkan dalam kitabnya al-Wajiz (hal. 57), najaasaat adalah bentuk jama’ atau plural dari kata najaasah, yaitu segala sesuatu yang dianggap kotor oleh orang-orang yang bertabiat baik lagi selamat dan mereka menjaga diri darinya, mencuci pakaian yang terkena benda-benda najis tersebut.
Syaikh Sa’id Al-Qaththani menyebutkan definisi najis sebagai kotoran yang harus dibersihkan dan dicuci pada bagian yang terkena olehnya. (Ensiklopedi Shalat Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, I/13).
Menurut istilah syar’i, benda najis adalah benda yang haram disentuh secara mutlak, kecuali jika dalam keadaan terpaksa, bukan karena benda tersebut haram atau kotor dan bukan pula karena benda tersebut berbahaya untuk badan dan akal.
(Ensiklopedi Tarjih Masalah Thaharah dan Shalat, hal. 26)
Tidak semua yang haram itu najis. Contohnya, emas haram dipakai oleh kaum lelaki, tapi emas itu tidak najis. Dan juga tidak semua yang kotor itu najis, misalnya ingus dan ludah itu kotor, tapi tidak najis.
Pada asalnya, segala sesuatu adalah mubah dan suci, oleh karena itu untuk menghukumi najis atau tidaknya sesuatu, maka haruslah membawa dalil yang kuat. Maka, tidak boleh mengatakan najis untuk sesuatu kecuali dengan mengemukakan hujjah. Dan inilah pendapat yang kuat.
(Al-Wajiiz, hal. 57 dan Ensiklopedi Tarjih, hal. 32)
II. TUJUAN
Untuk mengetahui pengertian najis dan pembagiannya serta contohnya dalam
kehidupan sehari-hari.
III.
RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian
najis.
2. Haid
dalam pandangan islam.
3. Mandi
junub dalam islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN NAJIS
Najis adalah kotoran yang wajib dibersihkan atau mencuci bagian yang terkena oleh najis itu. Allah Swt berfirman: “Dan bersihkanlah pakaianmu” (QS. Al-Muddatsir : 4)
Di ayat lainnya Allah Swt menyatakan:
“Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (QS. Al-Baqarah : 222).Rasulullah Shollallohu’alaihi Wa Sallam pernah bersabda :
“Kesucian itu sebagian dari iman” (HR. Muslim).
Pembagian Najis
Najis terbagi menjadi tiga yaitu:
·
Najis
Mukhoffafah (Najis Ringan)
Najis mukhoffafah atau najis ringan
ialah kencing bayi yang umurnya belum dua tahun dan belum makan sesuatu selain dari
susu ibunya
(susu yang dicampur gula atau tepung itu hukumnya seperti selain susu).
·
Najis
Mugholladzoh (Najis Berat)
Najis mugholladhoh atau najis berat
ialah anjing dan babi dan keturunan dari keduanya atau salah satu dari
keduanya.
·
Najis
Mutawassitah (Najis Sedang)
Najis mutawasitah adalah najis selain
dari najis mukhoffafah dan najis mugholladzoh.
Najis Mutawassithah dibagi menjadi dua:
ü Najis ‘Ainiyah (Tampak)
Yaitu najis yang berwujud/terlihat.
ü Najis Hukmiyah (Tidak tampak)
Yaitu najis yang tidak kelihatan
bendanya, seperti bekas kencing, atau arak yang sudah kering dan sebagainya.
(Anonim. 30 Oktober 2011)
Beberapa Macam Najis Berdasarkan Klasifikasinya:
·
Anjing
Anjing
adalah hewan yang dianggap najis menurut pandangan Imam Syafi’i, Abu
Hanifah dan Ahmad bin Hanbal. Sesuatu atau benda yang terjilat olehnya harus
dicuci sebanyak tujuh kali, yang salah satunya adalah dengan menggunakan (dicampur)
tanah.
Berdasarkan
sebuah hadist: “Apabila ada anjing menjilati bejana (tempat makan minum)
salah seorang diantara kalian, maka hendaknya membuang isinya dan mencuci
bejana itu sebanyak tujuh kali yang pertama dengan (campuran) tanah. “(HR.
Muslim).
·
Babi
Semua
tubuh Babi najis meskipun disembelih menurut syariat Islam. Allah Swt
berfirman: “Diharamkan bagi kalian (makanan) bangkai, darah dan daging
babi” (Al-Maidah : 3).
Adapun
najisnya kotoran manusia, berdasarkan sabda Rasulullah Saw :
“Jika salah seorang di antara kalian menginjak najis dengan sandalnya, maka tanah adalah pensucinya.” ( HR. Abu Daud. Hadist Sahih).
“Jika salah seorang di antara kalian menginjak najis dengan sandalnya, maka tanah adalah pensucinya.” ( HR. Abu Daud. Hadist Sahih).
Sedangkan
keterangan yang menunjukan air kencing manusia itu najis dari riwayat Anas ra,
bahwa seorang Arab badui kencing di masjid, lalu para sahabat berdiri (marah)
kepadanya, kemudian Rasulullah saw bersabda : “Biarkan ia, jangan kalian
menghentikannya!” (Anas ra berkata, “Setelah selesai beliau memerintahkan
mengambil an satu ember air, lalu disiramkan di atasnya. “(HR. Bukhari Muslim).
(Rasyid, K.H. Sulaiman. 1959)
·
Bangkai
Bangkai
adalah hewan yang matitanpa disembelih secara syari’at. Bangkai tersebut najis
berdasarkan ijma. Nabi saw bersabda : “Jika kulit bangkai telah dimasak,
maka ia menjadi suci.”
·
Darah
dan Nanah
Semua jenis darah termasuk nanah
adalah najis. Dikecualikan:
ü Sisa darah dalam daging, urat-urat
dan tulang hewan yang telah disembelih, atau darah ikan. Atapun darah yang
tampak ketika memasak daging, maka hal itu tidak mengapa (ma’fu anhu).Aisyah ra
berkata: “Kami pernah makan daging, sedang padanya masih terdapat darah yang
menempel pada kuali.” Darah atau nanah sedikit yang berasal dari bisul atau
luka sendiri (bukan luka orang lain).
ü Dalilnya seperti dalam kitab Sahih
Bukhari disebutkan:“Bahwa orang-orang muslim pada permulaan datangnya Islam, mereka mengerjakan shalat dalam keadaan luka. Seperti Umar
bin Khaththab yang mengerjakan shalat, sedang darah lukanya mengalir.”Darah nyamuk, kutu kepala atau
binatang kecil lainnya yang darahnya tidak mengalir.
·
Benda
Cair Yang Memabukkan
Ketika membicarakan permasalahan ini banyak ulama yang
merujuk kepada hukum khamar (arak). Jumhur Madzhab empat (Madzhab Hanafi,
Maliki, Syafi’i dan Hambali sepakat terhadap kenajisan khamar. Pendapat yang
demikian ini dibenarkan penisbatanya kepada mereka oleh Imam Ibnu Taimiyah.
Karena khamar itu nasji ainnya (dzatnya), maka mereka berpendapat haram
menjadikanya sebagai komoditas jual beli. Karena adanya hadits yang menyebutkan
: “Sesungguhnya Allah yang mengaharmkan meminumnya, juga mengharamkannya
menjualnya”.
·
Muntah
Muntah manusian najis baik orang dewasa atau anak ila hanya
sedikit maka hal itu dimaafkan (tidak najis).
Dalam Fiqh Sunnah oleh Sayyid Sabiq maupun dalam Al-Majmu karya Imam Nawawi,
atau kitab fikih lainnya menyebutkan bahwa muntah itu najis dan menjadi
kesepakatan para ulama (Ittifaq Ulama). Namun tidak disebutkan dalil yang
menunjukan dalil najisnya muntah. Sehingga sebagisn ahli fikih kontemporer
semisal Syeikh Albany, Syaikh Kamil Uwaidah bahwa muntah itu suci karena tidak
ada dalil yang menunjukan najis.
·
Wadi
Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada
umumnya, berwarna putih, tebal mirip mani, namun berbeda kekeruhannya dengan
mani. Wadi tidak memiliki bau yang khas.
Hukum wadi juga najis. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma
mengatakan, “Mengenai mani, madzi dan wadi; adapun mani, maka diharuskan
untuk mandi. Sedangkan wadi dan madzi, Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Cucilah
kemaluanmu, lantas berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk shalat.”
·
Madzi
Sedangkan madzi adalah cairan berwarna putih, tipis,
lengket, keluar ketika bercumbu rayu atau ketika membayangkan jima’
(bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak menyebabkan
lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu keluar ketika muqoddimah syahwat.
Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memiliki madzi.
Hukum madzi adalah najis sebagaimana terdapat perintah untuk
membersihkan kemaluan ketika madzi tersebut keluar.
Dari ‘Ali bin Abi Thalib, beliau radhiyallahu ‘anhu
berkata,“Aku termasuk orang yang sering keluar madzi. Namun aku malu menanyakan
hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallm dikarenakan kedudukan
anaknya (Fatimah) di sisiku. Lalu aku pun memerintahkan pada Al Miqdad bin Al
Aswad untuk bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas
beliau memberikan jawaban pada Al Miqdad, “Perintahkan dia untuk mencuci
kemaluannya kemudian suruh dia berwudhu”.
B. BEDA ANTARA NAJIS DENGAN HADAS
Hadas
ialah keadaan tidak suci yang mengenai pribadi seseorang muslim, menyebabakan
terhalangnya orang itu melakukan shalat atau tawaf. Artinya Shalat dan tawaf
yang dilaksanakan tidak sah karena dirinya dalam keadaan tidak berhads. Menurut
ahli fiqhi sebab seorang dihukumkan dirinya dalam keadaan berhadas, ada dua
kelompok:
1. Hadas
kecil.
Mengeluarkan
sesuatu dari dubur dan atau kubul yang berupa :
·
Air kencing
·
Tinja
·
Kentut
2. Hadas
Besar
·
Mengeluarkan mani.
·
Hubungan kelamin.
·
Terhentinya haid dan nifas.
Cara
mensucikanya
a.
Hadas kecil atau hadas ringan untuk mensucikanya diwajibkan berwudhu.
b.
Hadas besar , untuk mensucikanya diwajibkan mandi sesuai dengan syara dan bila dalam
keadaan darurat dapat bertayamum.
Yang dimaksud dengan najis menurut
bahasa apa saja yang dipandang kotor dan menjijikkan. Sedangkan menurut syara,
makna najis ialah suatu kotoran yang dapat menghalangi sahnya shalat atau
tawaf.
Najis
yang dimaafkan ( Najis Ma’fu), yaitu :
Najis yang sukar dikenal maka dapat
dimaafkan walaupun ia tidak di cuci, contohnya; kaki dan ujung celana atau
sarung yang terkena basa serta tidak dapat diamati najis atau bukan.
Perbedaan antara najis dan hadas :
·
Hadas
adalah sesuatu yang dapat membatalkan wudhu dan shalat.
·
Najis
adalah sesuatu yang dapat membatalkan shalat, tidak membatalkan wudhu.
AIR UNTUK BERSUCI
Secara umum dan dalil diketahui bahwa air yang boleh
digunakan untuk bersuci ada tujuh yaitu :
1. Air hujan
2. Air laut
3. Air sungai
4. Air Sumur
5. Air mata air
6. Air Salju
7. Air embun
Adapun dalil-dalil yang menjelaskan ketujuh point diatas
adalah sebagai berikut:
· Dan Allah
menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu
(Al ayat, Al-Anfal(8): 11).
·
Hadist Riwayat Abu-Hurairah ra, dia
berkata bahwa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah SAW, ” Ya Rasulullah,
kami pernah berlayar di lautan dan membawa sedikit air. Jika berwudhu
dengannya, kami akan kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut ?”
Rasulullah bersabda: Laut itu suci airnya dan halal bangkainya” (HR. Imam
hadist yang lima) derajat hadistnya hasan sahih loh..hehe
Adapun macam macam air berdasarkan
kedudukannya maka air itu terbagi atas 4, yaitu:
1. Air suci dan
menyucikan serta tidak makruh untuk bersuci, disebut Air Muthlaq.
2. Air suci dan
menyucikan akan tetapi makruh untuk bersuci, disebut Air Musyammas.
3. Air suci namun
tidak menyucikan, disebut Air Musta’mal.
4. Air Najis, yaitu air
yang bercampur dengan benda najis dan jumlahnya tidak sampai 2 qullah atau
sepadan dengan 190 liter.
Adapun dalil yang menjelaskan yaitu :
1. Dasar kesucian Air
Muthlaq adalah dari Abu Hurairah ra, dia berkata bahwa seorang arab badui
kencing di masjid. kemudian orang orang menghapirinya untuk menghardiknya
(memperingatkannya dengan perkataan dan perbuatan). Maka Rasulullah bersabda ” biarkanlah
dia dan siramkanlah seember air di tempat kencingnya itu. sesungguhnya kalian
diutus untuk menjadi orang orang yang memudahkan, bukan menjadi orang orang
yang menyusahkan“
Sedikit
intermezo… saya sangat terkesan dengan perkataan Rasulullah ”Sesungguhnya
kalian diutus untuk menjadi orang – orang yang memudahkan” alangkah
indahnya dunia ini jika setiap insan di dunia ini memiliki prinsip hidup
seperti ini.
2. Air Musyammas
adalah air yang dipanaskan dalam bejana logam dengan memakai panas matahari.
sebab kemakruhannya adalah karena bisa menyebabkan penyakit kusta.
3. Air Musta’mal
adalah air yang telah dipakai (bekas) untuk menghilangkan hadats. dalil
kesuciannya adalah hadist dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda; ” Janganlah
salah seorang diantara kalian mandi di air yang tergenang (tidak mengalir)
ketika dalam keadaan junub. Para sahabat bertanya, ” Wahai Abu Hurairah,
apa yang harus dilakukan?” Dia menjawab, ” Orang tersebut harus mengambil air
seciduk demi seciduk.”
Hadist ini
menunjukkan bahwa mandi di air tersebut akan
menghilangkan kesuciannya. Termasuk air suci namun tidak menyucikan adalah air
yang berubah karena bercampur dengan benda-benda suci lainnya, seperti : garam,
misk, air kelapa, karena tidak bisa dinamakan air lain.
4. Mengenai air
yang jumlahnya tidak sampai 2 qullah dalilnya seperti, dari Abdullah bin Umar, dia
berkata; Saya mendengar rasulullah bersabda ketika beliau ditanya tentang air
yang berada di padang pasir yang diminum oleh hewan hewan. Beliau menjawab. ” Jika
airnya mencapai dua qullah, maka ia tidak mengandung najis
C. KONSEP BERSIH DAN KOTOR
Bersih secara konkrit (hissiyah
-jasmaniah) adalah kebersihan dari kotoran atau
sesuatu yang dinilai kotor. Kotoran yang melekat pada badan, pakaian, tempat
tinggal, dan lain sebagainya yang mengakibatkan seseorang tak nyaman dengan
kotoran tersebut.
Bersih secara abstrak (maknawiah)
adalah sesuatu yang tidak dikotori dengan
sesuatu yang membuat kotor, baik yang membuat kotor itu suci atau tidak suci karena
dibersihkan dengan air atau tanah ketika air itu tidak ada.
Dengan
demikian, maka bersih dalam Islam dilihat dari aspek hissiyah dan
jasmaniah adalah tidak bisa dipisahkan dengan kesucian rohaniyah. Dalam Islam
kebersihan adalah kesucian itu sendiri dan kesucian adalah kebersihan, walaupun
istilah ini tidak sama sekali merupakan garis lurus. Mungkin secara jasmaniyah
bersih, tetapi belum tentu suci sekaligus karena dia orang yang tak pernah
berwudhu atau sedang dalam keadaan hadast.
Namun, seringkali kebersihan dan kesucian tak berimbang. Ada yang asal
bersih di rumah, tapi tak bertanggung jawab atas kebersihan jalan, sungai,
halaman orang, dan lain-lain.
Menurut
syari’at islam, bersih dan suci memiliki makna yang berbeda, karena suci belum
tentu bersih. Begitupun sebaliknya, bersih belum tentu suci. Tentunya di
manapun kita berada, jika kondisi lingkungan sekitar bersih dan suci, maka akan
membuat rasa nyaman untuk melakukan segala aktivitas.
Suci adalah sebuah keadaan dimana barang
atau tempat tidak terkena najis karena telah disucikan menurut syariat islam. Bersih,
suci menurut medis dan syariat islam, agama islam telah mengajarkan dan
memerintahkan umatnya agar senantiasa menjaga kebersihan dan kesucian. Seperti
firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 222, yang artinya :”Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang bersuci (QS.
Al-Baqarah:222).
Menurut
syariat islam pengertian bersih tidak sama dengan pengertian suci. Sesuatu yang
bersih adalah sesuatu yang tidak
dikotori oleh sesuatu yang kotor. Baik yang mengotori itu adalah sesuatu yang
suci maupun najis. Sedangkan suci adalah
sesuatu yang tidak terkena najis atau yang telah disucikan dengan cara yang
telah ditentukan oleh syariat islam, sekalipun di situ terdapat kotoran yang
suci.
Dengan
pengertian tersebut di atas, maka sesuatu yang bersih belum pasti suci. Begitu
pula sesuatu yang suci belum tentu bersih. Misalnya lantai yang terkena najis
dibersihkan dengan cara yang tidak sesuai dengan ketentuan syara’, sekalipun
kelihatannya bersih, bahkan sampai mengkilap namun masih tetap dihukumi belum
suci (mutanajis).
Kotor adalah sesuatu yang harus dihindari dikarenakan bias
mempengaruhi atas kesucian /
keabsyahan sebuah nilai dalam ukuran syariah, dengan syarat yang sudah ditetapkan /
gariskan didalam hukum (ISLAM).
D. HAID DALAM PANDANGAN ISLAM
Secara asal kata, haid artinya
mengalir. Sayyid Sabiq dalam fiqh sunnahnya menjelaskan bahwa yang dinamakan
haid adalah darah yang keluar dari kemaluan perempuan sewaktu ia sehat bukan
disebabkan karena melahirkan atau luka. Ayat Al-Qur’an yang membahas secara
langsung persoalan haid ialah surah Al-Baqarah ayat 222 : “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah haid itu adalah suatu
kotoran. Oleh sebab itu, hendaknya kamu menjauhkan diri (maksudnya jangan
menyetubuhi pada waktu haid) dari perempuan haid, dan janganlah kamu mendekati
mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka
itu ditempat yang telah diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.
(Esfand,
Muthia. 2011)
Ada beberapa kategori warna darah
haid, dan bila warnanya selain warna tersebut dibawah ini maka bisa jadi itu
adalah darah penyakit atau istihadhah.
© Hitam
Dalam sebuah hadist, Rasullullah SAW menjelaskan kepada Fatimah binti Abi Hubaisyi, yang saat itu sedang haid, “jika darah haid maka warnanya adalah hitam. Bila demikian maka hentikan lah sholat. Jika tidak maka berwudhulah dan sholatlah karena itu hanyalah darah penyakit.”
(H.R.Abu Daud, Nasa’I, Ibnu Hiban, dan Daruquthni).
© Merah
Warna ini adalah warna asli dari darah.
© Kuning
Warnanya seperti nanah.
© Keruh
Warna pertengahan antara warna putih dan warna air yang kotor ( keruh ). Jika darah haid masih berwarna seperti ini jangan buru-buru bersuci sampai benar-benar bersih. Seperti yang dijelaskan oleh Aisyah RA.
Adapun perbuatan yang haram dilakukan oleh wanita yang sedang haid, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan As-sunnah antara lain adalah:
1. Shalat
Seorang wanita yang sedang
mendapatkan haid diharamkan untuk melakukan salat. Begitu juga
mengqada` salat. Sebab seorang
wanita yang sedang mendapat haid telah gugur kewajibannya
untuk melakukan salat.
Dalilnya adalah hadis berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ رضيَ
اللهُ عَنْهَا: أنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ
أَبِي حُبَيْشٍ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ، فَقَالَ
لَهَا رَسُولُ اللهِ صلى
الله عليه وسلم: إِنَّ
دَمَ الحَيْضِ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ،
فَإِذا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِي
عَنِ الصَّلاةِ، فَإِذا كَانَ الآخَرُ
فَتَوَضَّئِي وَصَلِّي، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ
وَالنَّسَائِيُّ، وَصَحَّحَهُ ابنُ حِبَّانَ وَالحَاكِمُ،
وَاسْتَنْكَرَهُ أَبُو حَاتِمٍ
Dari Aisyah ra berkata, Fatimah
binti Abi Hubaisy mendapat darah istihadha, maka Rasulullah SAW bersabda
kepadanya, Darah haidh itu berwarna hitam dan dikenali. Bila yang yang keluar seperti
itu, janganlah shalat. Bila sudah selesai, maka berwudhu’lah dan lakukan
shalat.
Dari Aisyah ra. berkata, Di zaman
Rasulullah SAW dahulu kami mendapat haid, lalu kami diperintahkan untuk
mengqada` puasa dan tidak diperintah untuk mengqada` salat.
Selain itu juga ada hadis
lainnya:`Dari Fatimah binti Abi Khubaisy bahwa Rasulullah SAW bersabda, bila kamu
mendapatkan haid maka tinggalkan salat.
2. Puasa
Wanita yang sedang mendapatkan haid
dilarang menjalankan puasa dan untuk itu ia diwajibkannya untuk menggantikannya
dihari yang lain.
وَعَنْ أَبِي سَعِيْدٍ
الخُدْرِيِّ رضيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ: قَالَ رسُولُ الله
صلى الله عليه وسلم:
أَلَيْسَ إِذا حَاضَتِ
المَرْأَةُ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ
تَصُمْ، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abi Said Al-Khudhri ra. berkata
bahwa Rasulullah SAW bersabda, Bukankah bila wanita mendapat haid, dia tidak
boleh shalat dan puasa?
3. Tawaf
Seorang wanita yang sedang
mendapatkan haid dilarang melakukan tawaf. Sedangkan semua praktek ibadah haji
tetap boleh dilakukan. Sebab tawaf itu mensyaratkan seseorang suci dari hadas
besar.
وَعَنْ عَائِشةَ رضيَ
اللهُ عَنْهَا قَالَت: لَمَّا
جِئْنَا سَرِفَ حِضْتُ، فَقَالَ
النَّبيُّ صلى الله عليه
وسلم: افْعَلِي
مَايَفْعَلُ الحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لا
تَطُوْفِي بِالبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي، مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ
Dari Aisyah ra. berkata bahwa
Rasulullah SAW bersabda, Bila kamu mendapat haid, lakukan semua praktek ibadah
haji kecuali bertawaf di sekeliling ka`bah hingga kamu suci.
4. Menyentuh
mushaf dan Membawanya
Allah SWT berfirman di dalam
Al-Quran Al-Kariem tentang menyentuh Al-Quran:
لا يمسه إلا
المطهرون
“Dan tidak menyentuhnya kecuali
orang yang suci”.
Jumhur Ulama sepakat bahwa orang
yang berhadats besar termasuk juga orang yang haidh dilarang menyentuh mushaf
Al-Quran.
5. Melafazkan
Ayat-ayat Al-Quran
Kecuali dalam hati atau doa/zikir
yang lafznya diambil dari ayat Al-Quran secara tidak langsung. `Rasulullah SAW
tidak terhalang dari membaca Al-Quran kecuali dalam keadaan junub`.
Namun ada pula pendapat yang
membolehkan wanita haid membaca Al-Quran dengan catatan tidak menyentuh mushaf
dan takut lupa akan hafalannya bila masa haidnya terlalu lama. Juga dalam
membacanya tidak terlalu banyak. Pendapat ini adalah pendapat Malik. Demikian
disebutkan dalam Bidayatul Mujtahid jilid 1 hal 133.
6. Masuk
ke Masjid
Dari Aisyah RA berkata bahwa
Rasulullah SAW bersabda, Tidak ku halalkan masjid bagi orang yang junub dan
haid.
7. Bersetubuh
Wanita yang sedang mendapat haid
haram bersetubuh dengan suaminya. Keharamannya ditetapkan oleh Al-Quran
Al-Kariem berikut ini:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ
هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء
فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ
يَطْهُرْنَ فَإِذَا
تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ
اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ
التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Mereka bertanya kepadamu tentang
haid. Katakanlah: `Haid itu adalah suatu kotoran`. Oleh sebab itu hendaklah
kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati
mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka
itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. Yang
dimaksud dengan menjauhi mereka adalah tidak menyetubuhinya.
Sedangkan al-Hanabilah membolehkan
mencumbu wanita yang sedang haid pada bagian tubuh selain antara pusar dan
lutut atau selama tidak terjadi persetubuhan. Hal itu didasari oleh sabda
Rasulullah SAW ketika beliau ditanya tentang hukum mencumbui wanita yang sedang
haid maka beliau menjawab:
وَعَنْ أَنَسٍ رضيَ
اللهُ عَنْهُ أَنَّ اليَهُودَ
كَانت إِذا حَاضَتِ المَرْأَةُ
فِيْهِمْ لَمْ يُؤَاكِلُوهَا، فَقَالَ
النَّبِيُّ صلى الله
عليهوسلم: اصْنَعُوا كُلَّ شَىءٍ إِلاَّ
النِّكَاحَ، رَوَاهُ مُسْلِمٌ
`Dari Anas ra. bahwa orang Yahudi
bisa para wanita mereka mendapat haid, tidak memberikan makanan. Rasulullah SAW
bersabda, Lakukan segala yang kau mau kecuali hubungan badan.
وَعَنْ عَائِشَةَ رضيَ
اللهُ عَنْهَا قَالَت: كَانَ
رَسُولُ اللهِ صلى الله
عليه وسلم يَأْمُرُنِي فَأَتَّزِرُ،
فَيُبَاشِرُنِي
وَأَنَاحَائِضٌ، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Aisyahra berkata, Rasulullah
SAW memerintahkan aku untuk memakain sarung, beliau mencumbuku sedangkan aku
dalam keadaan datang haid.
Keharaman menyetubuhi wanita yang
sedang haid ini tetap belangsung sampai wanita tersebut selesai dari haid dan
selesai mandinya. Tidak cukup hanya selesai haid saja tetapi juga mandinya.
Sebab di dalam al-Baqarah ayat 222 itu Allah menyebutkan bahwa wanita haid itu
haram disetubuhi sampai mereka menjadi suci dan menjadi suci itu bukan sekedar
berhentinya darah namun harus dengan mandi janabah, itu adalah pendapat
al-Malikiyah dan as Syafi`iyah serta al-Hanafiyah.
E. MANDI JUNUB DALAM ISLAM
Mandi besar / mandi junub atau mandi wajib adalah mandi dengan menggunakan air suci dan bersih (air mutlak) yang mensucikan dengan mengalirkan air tersebut ke seluruh tubuh mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tujuan mandi wajib adalah untuk menghilangkan hadas besar yang harus dihilangkan sebelum melakukan ibadah sholat. Sebab/alasan seseorang harus mandi wajib/mandi besar/mandi junub, yaitu :
© Mengeluarkan air mani baik disengaja maupun tidak disengaja.
© Melakukan hubungan seks/hubungan intim/bersetubuh.
© Selesai haid/menstruasi.
© Melahirkan (wiladah) dan pasca melahirkan (nifas).
© Meninggal dunia yang bukan mati syahid.
Tata cara mandi junub menurut hadist riwayat Bukhari dan Muslim :
Menurut hadist riwayat Bukhari dan Muslim : Aisyah RA, istri Nabi Muhammad SAW berkata
“Bahwa apabila Nabi Muhammad SAW mandi janabah, beliau mulai dengan membasuh kedua tangannya, lalu menuangkan air dengan tangan kanan ke tangan kirinya dan mencuci kemaluannya, kemudian beliau wudhu sebagaimana wudhu untuk sholat, kemudian beliau memasukkan jari-jari beliau kedalam air, lalu beliau menyelai-nyelai pangkal rambut, kemudian (dalam satu riwayat ”sehingga apabila beliau merasa sudah meratakan air keseluruh kulitnya”) beliau menuangkan tiga gayung dikepala dengan kedua tangan, kemudian menuangkan air dikulit beliau secara menyeluruh.”
Rukun dan Sunnah Mandi Janabah :
Lalu para ulama memilah mana yang merupakan pokok dalam mandi janabah, sehingga tidak boleh ditinggalkan, mana yang merupakan sunnah sehingga bila ditinggalkan tidak merusak sah-nya mandi janabah itu.
A. Rukun
Untuk melakukan mandi janabah, maka ada 3 hal yang harus dikerjakan karena merupakan rukun/pokok :
© Niat. Sabda Nabi SAW: Semua perbuatan itu tergantung dari niatnya.
© Menghilangkan Najis Kalau Ada di Badan.
Menghilangkan najis dari badan sesunguhnya merupakan syarat sahnya mandi janabah. Dengan demikian, bila seorang akan mandi janabah, disyaratkan sebelumnya untuk memastikan tidak ada lagi najis yang masih menempel di badannya.
Caranya bisa dengan mencucinya atau dengan mandi biasa dengan sabun atau pembersih lainnya. Adapun bila najisnya tergolong najis berat, maka wajib mensucikannya dulu dengan air tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.
© Meratakan Air Hingga ke Seluruh Badan.
Seluruh badan harus rata mendapatkan air, baik kulit maupun rambut dan bulu. Baik akarnya atau pun yang terjuntai. Semua penghalang wajib dilepas dan dihapus, seperti cat, lem, pewarna kuku atau pewarna rambut bila bersifat menghalangi masuknya air.
Sedangkan pacar kuku dan tato, tidak bersifat menghalangi sampainya air ke kulit, sehingga tetap sah mandinya, lepas dari masalah haramnya membuat tato.
B. Sunnah-sunnah yang Dianjurkan dalam Mandi Janabah :
©Membaca basmalah.
© Membasuh kedua tangan sebelum memasukkan ke dalam air.
© Berwudhu` sebelum mandi Aisyah RA berkata,`Ketika mandi janabah, Nabi SAW berwudku seperti wudhu` orang shalat.
© Menggosokkan tangan ke seluruh anggota tubuh. Hal ini untuk membersihkan seluruh anggota badan.
© Mendahulukan anggota kanan dari anggota kiri seperti dalam berwudhu’
(Sabiq, Sayid. 1974)
BAB III
KESIMPULAN
1. Haid
adalah salah satu najis yang menghalangi wanita untuk melaksanakan ibadah sholat
dan puasa (pembahasan mengenai hukum-hukum seputar haidh telah disebutkan dalam
beberapa edisi yang lalu), maka setelah selesai haidh kita harus bersuci dengan
cara yang lebih dikenal dengan sebutan mandi haid.
2. Mandi junub atau mandi wajib adalah mandi dengan
menggunakan air suci dan bersih (air mutlak) yang mensucikan dengan mengalirkan
air tersebut ke seluruh tubuh mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki.
3. Mandi
junub harus dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam
syariat islam untuk mencapai kebersihan lahir dan bathin sehingga semua ibadah
yang dilakukan dapat diterima oleh Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Esfand,
Muthia. 2011. Ibadah-Ibadah Mudah Bagi
Wanita Haid. Jakarta : Citra Risalah
Rasyid, K.H.
Sulaiman. 1959. Fiqih Islam.
Jakarta : Djajamurni
Sabiq, Sayid.
1974. Fikih Sunnah. Bandung :
PT Al Ma’arif
Anonim. 30
Oktober 2011. Najis Menurut Madzhab Syafi’i. http://miftahur.com
Anonim. 30
Oktober 2011. Menuju Kebersihan Lahir
Dan Kesucian Bathin. http://ibnuabidin.multiply.com
Anonim. 30
Oktober 2011. Mengenal Najis. http://muslim.or.id