Sabtu, 20 Oktober 2012

JANCOK tak sekedar pisuhan

JANCOK!!!!
Begitulah kata-kata yang keluar jika orang Surabaya sedang emosi. Artikel kali ini agak frontal sih. Tapi justru karena kefrontalan itu, aku pingin sedikit menguak asal muasal si 'Jancok' tadi dari beberapa literatur yang ada. Cekidot!!


Bahasa sebagai media komunikasi, merupakan ciri paling menonjol dalam sebuah kelompok sosial. Berbicara mengenai bahasa, tentu saja tidak dapat lepas dari tinjauan sintaksis, semantik, dan semiotis, sebab pada hakikatnya bahasa merupakan sistem tanda, dimana tanda tersebut mengacu pada sesuatu yang pada perkembangannya dapat berimplikasi, baik secara langsung, maupun tidak langsung terhadap masyarakat.

Surabaya misalnya, sebagai kelompok sosial yang bersifat homogen, yang dalam hal ini berarti memiliki karakter dan latar belakang kultural yang sama, memiliki sebuah ‘kesepakatan’ yang tidak pernah mereka tulis dalam sebuah peraturan tertulis, yang ternyata masyarakatnya begitu memegang teguh kesepakatan tersebut. Hal yang perlu digaris-bawahi dalam hal homogenitas masyarakat Surabaya ini adalah hanya berlaku pada masyarakat ‘asli’ kelompok tersebut, dalam hal ini adalah anggota masyarakat yang sejak lahir berada di Surabaya. Dengan demikian, yang bersangkutan memliki kedekatan baik secara psikologis maupun kultural terhadap tumbuh kembang tradisi asli Surabaya sendiri.

Tradisi yang menonjol dari Surabaya itu sendiri adalah tradisi pisuhan, yakni merupakan ungkapan (lisan), atau lebih tepat jika dikatakan sebagai kata sapaan antar sesama masyarakat Surabaya yang jarak usianya tidak terlalu jauh. Pada dasarnya, pisuhan tidak hanya terdapat di Surabaya saja. Namun, jika dilihat dari aspek historisnya, pisuhan bisa dikatakan tradisi lisan khas Surabaya, yang tidak bisa dilepaskan dari proses tumbuh kembang kota Surabaya. kan tetapi, pada perkembangannya, pisuhan seringkali dikaitkan dengan aspek-aspek moralitas dan norma-norma kesopanan. Hal ini disebabkan masyarakat hanya memandang pisuhan dari aspek leksikalitasnya (makna asli, makna menurut kamus) tanpa memandang muatan-muatan historis yang terkandung didalamnya.

Terlepas dari persoalan moralitas tersebut, pisuhan pada hakikatnya merupakan simbol yang mengacu pada karakteristik watak masyarakat Surabaya yang keras, penuh perlawanan, spontanitas. Berangkat dari sinilah, maka seharusnya pisuhan tidak berimplikasi negatif terhadap perspektif moralitas masyarakat Surabaya sendiri, meskipun pada kenyataanya asumsi negatif tetap ‘dibebankan’ pada pisuhan ini. Persoalan ini akan lebih bisa dipahami jika pisuhan dipandang dari aspek historis.


PISUHAN dalam SUDUT PANDANG HISTORIS
Kata-kata pisuhan yang sering dianggap tabu dan tidak sopan itu ternyata merupakan potensi tradisi lisan yang belum digali secara maksimal. Orang Surabaya suka menyebut “Jancuk”, tapi apa maknanya? Bagaimana asal mulanya?

Dalam perkembangan yang begitu cepat, kata jancuk menjadi populer. Pergeseran pengucapan tersebut diartikan maknanya oleh arek surabaya. Walaupun ‘kental’ dengan unsur seksualitas namun jancuk menjadi simbol aksen/pengucapan dalam setiap aktifitas arek surabaya. Dalam perang kemerdekaan, kata jancuk menjadi kata pengobar semangat/motivator pejuang selain kata Allahu Akbar. Hal ini bisa diperhatikan dalam film perjuangan, Surabaya 10 November 1945, yang didalam banyak digunakan kata-kata jancok. Jancok dijadikan sebuah ungkapan untuk menumpahkan rasa kesal, kecewa sekaligus juga sebagai motivator. Pada zaman revolusi maupun pada orde baru, kata jancuk menjadi ikon bagi arek arek surabaya. Hal inilah yang menyebabkan sebuah stimulasi terhadap masyarakat Indonesia, ketika mendengar kata jancuk, maka stereotip yang muncul adalah orang tersebut adalah bagian dari masyarakat Surabaya.

Disinilah, maka jancuk erat hubungannya dengan persoalan tabu atau tidak tabu, pantas tidak pantas, meskipun tidak dapat dipungkiri, bahwa masyarakat Surabaya sendiri secara turun temurun sudah memberikan sebuah kesepakatan terhadap jancuk itu sendiri: bahwa jancuk merupakan kata yang tabu atau tidak pantas jika diucapkan. Hal ini disebabkan adanya sebuah kesepakatan (tidak tertulis) yang berlaku di sosial masyarakat Surabaya bahwa jancuk memiliki makna yang bersifat seksualitas. Tidak dapat dipungkiri bahwa, dalam masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang masih (sangat) terikat dengan aturan-aturan moral yang disepakati bersama, unsur seksualitas sangat ditabukan, sangat tidak pantas untuk diucapkan, sehingga akan terasa ‘tidak wajar’ jika kata ini diucapkan begitu saja sebagai sarana komunikasi antar masyarakat. Hal ini tentu saja didukung oleh asumsi bahwa kelompok masyarakat Surabaya adalah kelompok masyarakat berbudaya timur, yang menganggap seksualitas itu adalah sesuatu yang bersifat ‘sakral’.

Masyarakat memberikan dasar etimologis yang berbeda-beda, kendati demikian tetap saja tidak ada sebuah legitimasi khusus yang secara tertulis terhadap asumsi tersebut. Kendati demikian, seolah mengabaikan legitimasi tersebut, masyarakat Surabaya menganggap asumsi tersebut merupakan suatu kebenaran yang mereka wariskan secara turun temurun kepada generasi berikutnya.
Beberapa dari masyarakat Surabaya—dalam hal ini masyarakat yang berasal dari kampung-kampung lama di Surabaya—memiliki asumsi dan dasar etimologis yang berbeda-beda, warga Pelemahan misalnya, menganggap jancuk sejatinya berasal dari wilayah mereka. Terlepas dari persoalan benar atau tidak benar, jika dilihat dari aspek oral history, anggapan tersebut dapat diterima, mengingat Pelemahan merupakan salah satu kampung tua di Surabaya. Warga Pelemahan menganggap bahwa jancuk secara etimologi merupakan akronim dari Marijan dan Ngencok. Secara historis mereka menganggap bahwa Marijan, sebagai warga Pelemahan yang gemar berhubungan seksual secara bebas tanpa ikatan pernikahan—dalam bahasa Surabaya disebut ngencok.

Asumsi lain yang mendasarkan jancuk secara etimologis adalah anggapan bahwa jancuk merupakan akronim dari bahasa Jawa yakni jaran (kuda) dan ngencok. Asumsi inilah yang lebih banyak disepakati oleh masyarakat Surabaya, artinya secara mayoritas, kebanyakan, masyarakat Surabaya menganggap demikian.

Pada intinya, secara hisoris, dapat dikatakan bahwa jancuk sudah banyak digunakan oleh masyarakat Surabaya, bahkan ketika masa revolusi fisik. Hal ini mengacu pada fungsi utama jancuk sendiri dalam ruang lingkup pergaulan masyarakat Surabaya. Hanya saja, pada masa revolusi fisik, jancuk—secara tidak langsung—dimanfaatkan sebagai motivator. Dalam pekembangannya, secara substansial jancuk tidak mengalami pergeseran fungsi dan peran, yakni tetap sebagai sarana kekerabatan dalam masyarakat Surabaya. Meskipun dalam realisasinya, masih banyak pihak yang mengangap jancuk sebagai pisuhan—suatu jenis ungkapan yang bermakna kotor, tidak senonoh.


Aroma Seksualitas dalam Moralitas Berbahasa
Dari berbagai asumsi tersebut, dapat ditarik beberapa kesamaan yang dapat memunculkan sebuah identifikasi terhadap jancuk sendiri.
Pertama, jancuk merupakan ungkapan atau kata sapaan yang bersifat olok-olok, artinya jancuk digunakan sebagai bahasa untuk mengejek, mengolok-olok.
Kedua, munculnya ‘aroma’ seksualitas yang kental dalam jancuk.

Persamaan-persamaan tersebut dapat dikatakan sebagai hakikat jancuk yang terjadi di masyarakat. Jancuk di masyarakat Surabaya memang dikenal sebagai ungkapan yang yang sangat kental unsur seksualitasnya. Seperti yang sudah tersebut diatas, bahwa jancuk merupakan akronim dari jaran dan ngencok. Dapat diuraikan disini bahwa munculnya kata jaran merupakan simbol laki-laki, simbol keperkasaan. Disamping itu, kuda merupakan simbol sikap liar dan tidak terkendali. Menurut eetimologi dari asumsi jaran dan ngencok tersebut, dapat ditarik sebuah pengertian eksplisit jaran (kuda) yang sedang bersetubuh. Akan tetapi, menurut Srihono, redaktur majalah Penyebar Semangat, dalam sebuah wawancaranya, beliau mengatakan bahwa jancuk itu berarti menuk’e jaran sing diencokno, atau bisa diartikan sebagai proses mengawinkan kuda.
Berdasarkan keterangan diatas, dapat ditarik sebuah pemaknaan tentang ‘kuda yang dikawinkan (oleh manusia)’. Hal ini terjadi karena memang secara alamiah, kuda tidak dapat melakukan persetebuhan dengan betinanya dikarenakan kelamin kuda yang terlalu besar. sifat kuda yang seperti inilah yang kemudian dapat dikorelasikan dengan karakteristik masyarakat Surabaya, yang memang pada saat itu, sekitar tahun 1930an - 1940an, dikenal memiliki karakteristik sebagai masyarakat yang berwatak keras, dan egaliter—sifat ini yang diturunkan dan menjadi karateristik masyarakat Surabaya hingga kini.

Jancuk digunakan masyarakat Surabaya dalam proses interaksi sosial mereka.masyarakat Surabaya menggunakan jancuk ini sebagai pelengkap berbahasa sehari-hari. Pada awalnya, tidak ada yang memaknai jancuk ini sebagai kata yang berkonotasi negatif, sebab seperti yang diungkapkan diatas, bahwa pada hakikatnya jancuk hanyalah merupakan ungkapan yang menandakan suasana keakraban internal kelompok masyarakat Suarabaya sendiri.

Pada dasarnya jancuk merupakan penanda masyarakat Surabaya yang berwatak keras, bahkan terkesan ‘kasar’. Pernyataan tersebut tidaklah salah, sebab memang secara harfiah, jancuk merupakan akronim dari kosakata yang ‘ditabukan’, namun disisi lain masyarakat Surabaya dikenal sebagai masyarakat yang dalam proses interaksi sosial menganut sistem masyarakat yang bersifat egaliter. Sistem masyarakat yang bersifat egaliter adalah sebuah perilaku sosial dalam sebuah proses interaksi sosial yang tidak membeda-bedakan manusia, terutama dalam ruang lingkup kelompok sosialnya sendiri, dalam hal status dan derajat sosialnya (Kellner, 2003: 215)
Dari pengertian diatas, dapat menggambarkan bahwa jancuk sebagai ciri khas accent Surabaya dapat menggambarkan masyarakat Surabaya yang apa adanya, spontanitas, atau bisa dikatakan ceplas-ceplos.


JANCOK dan MASKULINITAS
Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa jancuk sangat berkaitan dengan aspek seksual, maka pada penggunannya jancuk sangat ‘patriarkal’, artinya dalam batas kelayakan, pengguna jancuk ini adalah laki-laki. Hal ini dikarenakan harfiah dari jancuk adalah mengarah ke makna ‘kelamin kuda jantan’, yang dalam hal ini diibaratkan sebagai manusia laki-laki.

Pengguna jancuk lebih banyak laki-laki, juga disebabkan karena budaya maskulinitas yang dianut oleh masyarakat timur, khususnya masyarakat Surabaya. Dalam proses interaksi sosial, maskulinitas berpengaruh pada pembedaan posisi laki-laki dan perempuan dalam memandang aspek yang ditabukan salah satunya adalah seksualitas dan sensualitas. Perempuan dianggap sebagai ‘makhluk suci’, sehingga tidak diperbolehkan bersentuhan dengan segala sesuatu yang ‘ditabukan’ (Frehmer, 1995:98). Dalam kenyataannya, sekitar tahun 1952, kendati jancuk sangat akrab pada setiap percakapan masyarakat Surabaya, namun perspektif yang terbentuk di masyarakat adalah sesuatu yang tabu atau dalam istilah Jawa disebut dengan gak ilo’—tidak pantas—jika yang mengucapkan jancuk itu adalah seorang perempuan.

Jancuk pada dasarnya dipakai sebagai kata sapaan, sebagai tanda keakraban. Artinya, kata ini lazimnya hanya dipakai dalam percakapan dua orang atau lebih yang usianya sebaya, atau diucapkan oleh seseoarang yang usianya lebih tua, atau dianggap tua. Dari sini, maka bisa dipastikan, bahwa jancuk praktisnya merupakan bahasa pergaulan, yang digunakan oleh pemuda-pemuda Surabaya.

Kembali, bahwa sebenarnya masyarakat asli Surabaya, tidak mengkotak-kotakkan, apalagi memperdebatkan perkara ini, sebab menurut mereka tidak penting dari mana jancuk itu berasal, menurut mereka, selama jancuk itu digunakan sebagai kata sapaan yang memenuhi persyaratan sebagai bahasa, dimana dapat ‘diterima’ oleh kedua pihak (Suparno, dkk , 1999:27).
Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa pada hakikatnya jancuk tidak berkonotasi negatif, namun pada kenyataannya jancuk ada yang menafsirkan negatif. Hal ini sejatinya tidak dimunculkan oleh kelompok asli masyarakat Surabaya, melainkan dari para urban, para pendatang dari wilayah lain yang baik secara langsung, maupun tidak langsung, fisik maupun sosial, telah terpengaruh oleh masyarkat Surabaya, baik itu melalui proses asimilasi, maupun akulturasi. Jika berbicara dengan penafsiran, positif atau negatif, adalah berkaitan erat dengan cara atau teknis pemakaiannya, atau lebih tepatnya jika dikaitkan dengan konteks perilaku pemakainya.

Jancuk dapat ditafsirkan sebagai kosakata yang berkonotasi negatif, jika diucapkan dengan nada tinggi dengan diikuti mimik wajah yang menunjukkan penggunanya sedang dalam keadaan marah. Menurut Srihono yang merupakan pengasuh acara berbahasa Jawa di Radio Republik Indonesia (RRI) Surabaya, hal ini biasanya jancuk dimaksudkan sebagai alat untuk memojokkan atau merendahkan serta memancing supaya lawan bicara dapat membalas kemarahannya.(dalam wawancara tanggal 14 Juni 2007).
Jadi, pada dasarnya, asumsi masyarakat terhadap jancuk sebagai pisuhan di Surabaya, berdasar pada konteks yang ada, perilaku penggunanya dan intonasi pengucapannya.
Pada tahun 1980an hingga 1990an, jancuk dianggap sebagai kata yang ‘sakral’, bukan tabu, sebab pada masa ini, masyarakat Surabaya (merasa) tidak perlu untuk memperdebatkan tentang makna, hakikat dan asal usul kata ini, namun, yang mereka tahu hanyalah bahwa mereka terlalu ‘segan’ untuk menggunakan kata ini dalam proses interaksi sosial mereka, hal ini disebabkan, jika ada salah satu dari kelompok masyarakat Surabaya yang menggunakan jancuk ini, diklaim sebagai orang yang kasar, dalam arti diasumsikan sebagai orang yang tidak berbudaya, tidak beradab, hingga pada akhirnya, kemungkinan terburuk adalah mereka dapat teralienasi dari kelompok mereka sendiri.

Masyarakat pada masa-masa ini sepertinya lebih nyaman hidup dalam segala sesuatu yang halus dan tertata, mulai dari materi, hingga ucapan. Hal tersebut yang menyebabkan begitu ‘sakralnya’ jancuk di kalangan masyarakat sendiri. masyarakat lebih senang menggunakan kata-kata sapaan baru yang sebenarnya bukan berasal dari Surabaya, misalnya bahasa-bahasa gaul yang lebih banyak didominasi oleh bahasa asli Jakarta, sebagai ibukota dan ‘sentra budaya’ Indonesia pada masa itu.

Terlepas dari penafsiran yang dimunculkan sebagai dikotomi atas keberadaan jancuk sebagai tradisi lisan kelompok masyarakat Surabaya, seharusnya, jancuk ini dapat dilestarikan sebagai salah satu identitas orisinil dari salah satu kelompok masyarakat Surabaya. Oleh karena itu, dalam hal ini diperlukan peran serta keluarga, terutama orang tua sebagai pilar pertama (dan utama) dalam sebuah konstruksi sosial masyarakat.
Peran serta keluarga, terutama orang tua sangat diperlukan dalam upaya pelestarian jancuk sebagai salah satu identitas orisinil kelompok masyarakat Surabaya, adalah bukan berarti dalam bentuk sebuah penonjolan terhadap dikotomi penafsiran dari jancuk, namun yang terpenting adalah memberikan sebuah pemahaman bahwa sebuah pisuhan—termasuk jancuk—merupakan ciri khas dari Surabaya, yang harusnya perlu dibanggakan terlebih oleh anggota kelompok masyarakat Surabaya sendiri.

Kendati demikian, orang tua sebagai bagian dari konstruksi masyarakat yang lebih luas, tentu saja tidak dapat melepaskan diri dari konstruksi besar yang melingkupinya,. Dimana dalam konstruksi tersebut, terdapat berbagai macam aturan dan kesepakatan-kesepakatan umum yang telah berlaku di masyarakat, sehingga sepakat atau tidak sepakat, membuat orang tua harus memposisikan dirinya sebagai bagian dari konstruksi sosial tersebut. Dampak nyatanya adalah, orang tua tetap ‘berkewajiban’—paling tidak atas nama moral dan kesusilaan—menanamkan, atau lebih tepat jika dikatakan memaksakan pada anak untuk secara sadar mengasumsikan bahwa pisuhan terutama jancuk adalah sebuah ungkapan yang tidak pantas untuk diucapkan.

Meski keluarga terutama orang tua sebagai pelaksananya menekankan demikian, anak, sebagai bagian dari masyarakat, tentu mau tidak mau, sadar atau tidak sadar, mereka akan mengalami kontradiksi dan friksi (gesekan) baik secara psikis, maupun ideologi, dengan masyarakat pembentuknya. Kondisi inilah yang pada akhirnya menyebabkan munculnya dikotomi terhadap penafsiran dari jancuk.



DAFTAR PUSTAKA
Frehmer, Carl. 1995. Maskulinitas dan Studi Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.

Hayakawa, S.I. 1994. Simbol-Simbol, dalam Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rahmat, (ed.). Komunikasi Antar Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Teuw. A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Suparno, dkk. 1994. Komunikasi Massa. Jakarta: Media Pustaka

Kellner, Douglas. 2003. Teori Sosial Radikal. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.

Wawancara dengan R.M. Srihono, redaktur media Penyebar Semangat 14 Juni 2007

www. surabayacentrin.net.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar