Kamis, 18 Oktober 2012

MEGENGAN (Tradisi Penuh Filosofis)

Masing - masing daerah tentu memiliki ciri khas dalam adat istiadat dan juga tradisinya. Sebenarnya aku juga bingung aku dari daerah mana. Kalau berdasarkan Ius Sanguinis aku ini orang Solo, tapi kalau berdasarkan Ius Soli aku ini dari Surabaya. Baik Solo, Surabaya maupun Jogja sudah mendarah daging dalam hidupku. Aku cinta kota-kota itu dengan keunikannya masing-masing. Tapi aku kali ini ingin sedikit mengupas tentang Tradisi dari Surabaya.
Awalnya aku juga bingung ingin membahas tradisi apa tentang Surabaya. Karena disini hidup berbagai etnis, ada Jawa, Madura, Arab, dan juga China. Selain itu tempat tinggalku dekat dengan perkampungan Arab (daerah KH Mansyur, Wisata Religi Ampel) maupun kawasan Kya-Kya (daerah Pecinan) juga dekat dengan etnis Madura (dekat dengan Suramadu), akupun ingin membahas tentang salah satu tradisi tersebut, tapi niat itu aku urungkan karena takut kalau aku salah memberi info akan malah merusak pemahaman yang ada, makanya aku akan bahas aja tentang tradisi yang aku ngerti. Tradisi itu adalah...... MEGENGAN




Tradisi megengan biasanya dilaksanakan menjelang puasa. Jika saya menulis mengenai tradisi ini sekarang, tentu dengan maksud bahwa Islam Jawa memang memiliki sekian banyak tradisi yang khas dalam implementasi Islam. Tradisi ini sungguh-sungguh merupakan tradisi indigenius atau khas, yang tidak dimiliki oleh Islam di tempat lain.


Megengan secara etimologi berasal dari bahasa Jawa ‘megeng’ yang berarti menahan, dalam tradisi lisan masyarakat pengguna bahasa Jawa kata megeng selalu terkait dengan megeng nafas yang mempunyai makana terasa berat, meskipun berat harus ditahan selayaknya orang menghirup nafas. Dengan demikian, megeng berarti suatu penanda bagi orang Islam untuk melakukan persiapan secara khusus dalam menghadapi bulan yang sangat disucikan di dalam Islam.
Para walisanga memang mengajarkan Islam kepada masyarakat dengan berbagai simbol-simbol. Dan untuk itu maka dibuatlah tradisi untuk menandainya, yang kebanyakan adalah menggunakan medium slametan meskipun namanya sangat bervariasi. Nafas Islam memang sangat kentara di dalam tradisi ini. Dan sebagaimana diketahui bahwa Islam memang sangat menganjurkan agar seseorang bisa menahan hawa nafsu. Manusia harus menahan nafsu amarah, nafsu yang digerakkan oleh rasa marah, egois, tinggi hati, merasa benar sendiri dan menang sendiri. Nafsu amarah adalah nafsu keakuan atau egoisme yang paling sering meninabobokan manusia. Setiap orang memiliki sikap egoistik sebagai bagian dari keinginan untuk mempertahankan diri. Namun jika nafsu ini terus berkembang tanpa dikendalikan, maka justru akan menyesatkan karena seseorang akan jatuh kepada sikap yang menganggap dirinya paling hebat, sedangkan yang lain tidak sama sekali. Nafsu amarah merupakan simbolisasi dari sifat egoisme manusia dalam berhadapan dengan manusia atau ciptaan Tuhan lainnya.

Kemudian nafsu lawwamah atau nafsu biologis atau nafsu fisikal, yaitu nafsu yang menggerakkan manusia untuk sebagaimana binatang yang hanya mementingkan nafsu biologisnya saja atau pemenuhan kebutuhan fisiknya saja. Nafsu ini memang penting sebab tanpa nafsu ini maka manusia tidak akan mungkin untuk mengembangkan diri dan keluarganya. Manusia butuh makan, minum, berharta, dan sebagainya. Namun jika hanya ini yang dikejar maka manusia akan jatuh ke dalam pemenuhan kebutuhan fisiknya saja tanpa mengindahkan kebutuhan lainnya yang juga penting. Maka yang menjadi penyeimbang di antara kebutuhan egoistik dan biologis tersebut adalah nafsu mutmainnah, yaitu nafsu keberagamaan atau etis yang mendasarkan semua tindakan berbasis agama.

Nafsu mutmainnah inilah yang akan mengantarkan manusia agar sampai kepada Tuhannya. Sebagaimana dinyatakan di dalam al-Qur’an: ”kembalilah kepada Tuhan dengan ridla dan diridlai, masuklah ke dalam hambaku dan masuklah ke dalam surgaku.” Ayat ini menegaskan bahwa yang bisa menjadi hamba Allah dan bisa memasuki surganya adalah hambanya yang diridlai karena telah memasuki nafsu mutmainnah. Dengan demikian, Islam mengajarkan bahwa melalui kemampuan untuk menahan nafsu amarah dan lawwamah dan berikutnya mengembangkan nafsu mutmainnah, maka manusia akan selamat di dalam kehidupannya.

Kalau kita mau belajar cara-cara para wali tanah jawa melestarikan ajaran Islam dalam kehidupan, maka hal-hal itu akan mengandung maksud. Seperti :
  • Kue APEM
Apem berasal dari kata afwam atau afuan yang berarti permintaan maaf. Kita sebagai manusia diharapkan selalu bisa memberi maaf atau memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain. Itu sebabnya mengapa dalam tradisi megengan identik dengan membagi kue apem kepada para tetangga atau saudara, sebagai simbol meminta maaf sebelum memasuki bulan suci Ramadhan :)
  • KOLAK
Kolak mengandung maksud pada kata kholaqo yang memiliki arti ‘mencipta’. Arti kholaqo tersebut tercipta sebuah kata kholiq atau khaliq. Ini artinya diharapkan agar kita bisa semakin mendekatkan diri kepada-Nya, yaitu untuk mendoakan orang-orang yang telah meninggal dan berada di alam barzah.
  • RUWAHAN
Ruwahan berasal dari kata “Ruwah” merupakan bulan urutan ke tujuh, dan berbarengan dengan bulan Sya’ban tahun Hijriyyah. Kata “ruwah” sendiri memiliki akar kata “arwah”, atau roh para leluhur dan nenek moyang. Konon dari arti kata arwah inilah bulan dijadikan sebagai bulan untuk mengenang para leluhur.
  • MUNGGAHAN
Berasal dari kata unggah yang artinya naik. Maka sepatutnyalah ada persiapan diri menghadapi bulan penuh berkah itu. Persiapan yang lebih bersifat psikis inilah yang masyakat kenal sebagai Munggahan

Memang para walisanga mengajarkan Islam melalui simbol-simbol budaya. Hanya sayangnya bahwa yang ditangkap oleh masyarakat Islam hanyalah simbolnya belaka. Padahal jika yang ditangkap itu tidak hanya simbolnya tetapi juga substansinya, maka sesungguhnya ada pesan moral yang sangat mendasar.

Semoga apa yang saya share tidak meyesatkan :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar